Palangka Raya, Borneodaily.co.id – Pasal 201 UU 10/2016 menyebut pilkada serentak digelar pada 2015, 2017, dan 2018. Lalu daerah yang ikut dalam pilkada 2015 akan ikut dalam pilkada 2020. Kepala daerah terpilih hanya akan menjabat sampai 2024.
Sementara pilkada 2022 dan 2023 ditiadakan. Daerah-daerah tersebut akan dipimpin oleh penjabat (pj) yang ditunjuk pemerintah hingga terpilih kepala daerah baru. Lalu pada November 2024, seluruh daerah mengikuti pilkada serentak.
Sejumlah daerah di Kalimantan Tengah yang akan dipimpin oleh penjabat yang ditunjuk pemerintah dalam hal ini Kabupaten Barito Selatan, Barito Timur, Murung Raya, Barito Utara, Kapuas, Pulang Pisau, Gunung Mas, Katingan, Seruyan, Lamandau, Sukamara, Kotawaringin Barat, dan Kota Palangka Raya.
Hampir sebagian besar kabupaten/kota di Kalimantan Tengah akan dipimpin oleh seorang penjabat Bupati/Walikota. Ini tentu akan sangat menarik, karena akan ada “kekosongan” kepala daerah hingga 2024, dan ini akan menjadi catatan sejarah tersendiri bagi provinsi yang dikenal dengan bumi Tambun Bungai tersebut. Apa yang harus dipersiapkan?
Sebelum Kalteng menyiapkan langkah-langkah, pada perjalanannya, rencana dalam UU 10/2016 kembali dipertanyakan berbagai pihak. Terutama usai insiden kematian ratusan petugas penyelenggara dalam Pemilu 2019. Beberapa LSM, menyarankan agar pilkada serentak tak digelar di 2024. Sebab pada tahun yang sama juga akan digelar pilpres dan pileg. Mereka menaksir beban kerja petugas akan jauh lebih berat.
Pembicaraan itu pun juga sampai ke elite pemerintahan. Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa membenarkan pernyataan Komisioner KPU Ilham Saputra soal wacana pengunduran pilkada serentak ke tahun 2027.
Dikutip dari detik.com, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri tahun 2012, Djohermansyah Johan, menyampaikan salah satu keuntungan pilkada serentak adalah efisiensi waktu dan biaya. Johan juga menyebut pilkada serentak diharapkan dapat menyelaraskan perencanaan pembangunan antara pusat dan daerah.
Dalam diskusi pada 14 September 2012 itu, Johan juga menyebut ada kelemahan. Pilkada serentak akan berdampak pada kekosongan kepemimpinan di sejumlah daerah hingga pelantikan kepala daerah baru.
Selain itu, ada potensi konflik yang luas secara bersamaan akibat kontestasi politik. Prinsip efisiensi juga diamini sejumlah kelompok masyarakat sipil.
Untuk diketahui, DPR tengah menggodok revisi Undang-Undang Pemilu (RUU Pemilu). Draf RUU Pemilu yang saat ini sudah diserahkan ke Badan Legislasi DPR mengatur jadwal Pilkada 2022.
Pasal mengenai jadwal Pilkada 2022 tertuang dalam Pasal 731 ayat (2) draf RUU Pemilu. Berikut ini bunyi lengkap Pasal 731 Draf RUU Pemilu:
Pasal 731
(1) Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara serentak untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tahun 2015 dilaksanakan pada bulan Desember tahun 2020.
(2) Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara serentak untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tahun 2017 dilaksanakan pada tahun 2022.
(3) Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara serentak untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tahun 2018 dilaksanakan pada tahun 2023.
“Kita selesaikan RUU Pemilu ini, mudah-mudahan di tahun ini bisa selesai, paling telat awal 2021. Jadi masa sidang ini kita serahkan ke Badan Legislasi,” ucap Saan Mustofa
Aturan pilkada serentak tercantum dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada (UU Pilkada). Pasal 201 undang-undang tersebut mengatur pilkada dilaksanakan hanya sampai 2020. Pilkada serentak selanjutnya digelar pada tahun 2024.
Pilkada itu akan menyerentakkan seluruh pemilihan kepala daerah yang ada di Indonesia. Daerah-daerah yang seharusnya menggelar pilkada pada 2023 dan 2024 akan mengalami kekosongan pejabat kepala daerah. Karenanya, pasal 210 ayat (10) dan (11) mengatur pemerintah akan menunjuk penjabat gubernur, bupati, dan wali kota.
Tetapi ternyata tidak semua pihak setuju dengan penundaan dan revisi keserentakan Pilkada. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menolak rencana revisi UU Pemilu. Mereka ingin tetap melaksanakan Undang-undang Pemilihan Umum dan Undang-undang Pilkada yang sudah ada.
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar mengatakan UU Pemilu belum perlu direvisi. Sebab, UU itu masih mengatur rangkaian pemilu di Indonesia hingga 2024.
“UU tersebut belum dilaksanakan. Tidak tepat jika belum dilaksanakan, sudah direvisi. Mestinya, dilaksanakan dulu, kemudian dievaluasi, baru kemudian direvisi jika diperlukan,” kata Bahtiar dalam keterangan tertulis, Jumat (29/1). Bahtiar juga menyebut saat ini tidak tepat bagi Indonesia untuk sibuk merevisi UU Pemilu.
Menurutnya, energi pemerintah dan parlemen lebih baik difokuskan untuk menangani pandemi virus corona. Dia mengatakan belum ada rencana pemerintah mengubah jadwal pilkada dan pemilu. Dengan demikian gelaran pemilu berikutnya tetap dijadwalkan pada 2024. “Sesuai dengan UU yang masih berlaku tersebut, maka jadwal pilkada berikutnya adalah 2024,” kata Bahtiar.
Presiden juga tegas menolak pilkada dihelat pada 2022 dan 2023 seperti tertuang dalam draf Revisi UU Pemilu. Jokowi ingin Pemilu Serentak tetap dilakukan pada 2024 sekaligus seperti tertuang dalam UU Pemilu dan Pilkada yang masih berlaku saat ini. Hal ini diungkapkan oleh Jokowi saat bertemu dengan 15 mantan Juru Bicara Jokowi-Maruf di Istana Negara, Jumat 29 Januari lalu. (CNNIndonesia.com, 29/1)
Pro kontra ini tentu tidak lepas dari alasan politik dan kepentingan, terutama di tahun 2022 ini masa jabatan Gubernur/Wakil Gubernur DKI berakhir. Dengan kekosongan yang cukup lama maka dikuatirkan kepopuleran tokoh saat ini akan menurun sehingga dianggap merugikan.
Selain itu mengutus Pelaksana Tugas (Plt) atau Penjabat (Pj) untuk masa yang cukup panjang merugikan warga terutama di saat pandemi karena kewenangan Plt tidak seperti pejabat definitif.
Bagi para penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP) apapun keputusan pembuat Undang-undang terkait waktu pelaksanaan Pilkada serentak, mereka siap melaksanakannya apalagi ketiga lembaga tersebut dari segi kemandirian dan pengalaman sudah tidak diragukan lagi keprofesionalannya.
Bahkan untuk KPU dan Bawaslu, berkaca pada pengalaman menyelenggarakan Pemilu/Pilkada sampai ke tingkat adhoc pun telah siap berpartipaasi mensukseskannya.
Jadi apakah Pilkada 2022 dan 2023 tetap dilaksanakan? Kita tunggu saja keputusan akhirnya.Tim/Net