Partai Hanura mendesak pemerintah agar membatalkan program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang kini sedang menjadi polemik di tengah masyarakat. Sekretaris Jenderal Partai Hanura, Benny Rhamdani, menilai program Tapera menjadi sebuah paksaan kepada pekerja karena penerapan iuran yang bersifat wajib.
Menurut Benny Rhamdani, aturan Tapera yang berbau wajib mengindikasikan adanya unsur pemaksaan kepada pekerja dan pengusaha. Partai Hanura dengan tegas mendesak pemerintah untuk membatalkan peraturan perundangan tersebut, mengingat dampaknya yang berpotensi memberatkan kedua belah pihak. Selain itu, Benny menyoroti pentingnya sosialisasi program Tapera kepada pihak-pihak terkait sebelum penerapannya. Sosialisasi yang memadai diharapkan dapat mengurangi resistensi dan meningkatkan pemahaman serta penerimaan dari masyarakat dan pengusaha.
Benny juga menilai bahwa pemerintah abai dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat akan tempat tinggal. Dengan backlog kepemilikan rumah yang mencapai 16 juta orang, jelas bahwa pemerintah belum mampu mengatasi kesenjangan ini secara efektif. Program Tapera, menurut Benny, tidak menjawab masalah ini secara substantif, malah menambah beban baru bagi pekerja dan pengusaha. Pemerintah seharusnya fokus pada upaya yang lebih konkret dan langsung dalam menyediakan perumahan bagi masyarakat, bukan dengan memberlakukan kewajiban baru yang bisa menambah beban ekonomi.
Selain itu, Benny mengungkapkan kekhawatirannya berdasarkan pengalaman sebelumnya dengan Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Bapetarum PNS). Menurutnya, nasib tabungan yang dikelola oleh Bapetarum PNS tidak jelas dan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap program tabungan perumahan serupa. Kasus ini menimbulkan keraguan apakah dana yang dikumpulkan melalui Tapera akan dikelola dengan transparan dan akuntabel.
Pemerintah sebelumnya mewajibkan pekerja ikut Program Tapera dan mewajibkan pengusaha untuk mendaftarkan pekerja mereka menjadi peserta Tapera paling lambat Mei 2027. Iuran yang besarannya 3 persen dari gaji pekerja, dengan 0,5 persen ditanggung oleh pengusaha dan 2,5 persen oleh pekerja, akan dipotong dari gaji pekerja setiap tanggal 10. Kebijakan ini menambah beban finansial bagi pekerja dan pengusaha di tengah situasi ekonomi yang mungkin sudah menantang.
Program Tapera mendapat banyak kritik dan penolakan dari berbagai pihak. Beberapa buruh bahkan mengancam akan menggugat aturan ini ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, menunjukkan ketidakpuasan yang mendalam terhadap kebijakan ini. Mereka menilai bahwa potongan gaji untuk iuran Tapera bisa semakin memberatkan kondisi ekonomi pekerja, terutama bagi mereka yang bergaji rendah.
Dalam konteks ini, desakan Partai Hanura agar pemerintah membatalkan program Tapera mencerminkan kekhawatiran yang luas akan dampak negatif dari kebijakan ini. Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali pendekatan yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan perumahan masyarakat. Fokus pada kebijakan yang tidak memberatkan, transparan, dan berbasis kebutuhan nyata masyarakat akan lebih efektif dalam mengatasi masalah perumahan di Indonesia.
Kontroversi terkait program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menggarisbawahi sejumlah tantangan dan hambatan yang dihadapi dalam upaya merumuskan kebijakan publik yang adil dan berkelanjutan. Dialog yang konstruktif antara pemerintah, pekerja, pengusaha, dan partai politik sangat diperlukan untuk mencapai kesepakatan yang menguntungkan semua pihak. Namun, ada berbagai faktor yang membuat proses ini tidak mudah.
Salah satu tantangan utama adalah kepentingan yang beragam dari berbagai pihak yang terlibat. Pemerintah, pekerja, pengusaha, dan partai politik masing-masing memiliki agenda dan prioritas yang berbeda. Pemerintah mungkin berfokus pada peningkatan kepemilikan rumah dan pengurangan backlog perumahan, sementara pekerja khawatir tentang potongan gaji yang akan mengurangi pendapatan mereka. Pengusaha, di sisi lain, mungkin melihat kebijakan ini sebagai beban tambahan yang meningkatkan biaya operasional mereka. Partai politik memiliki pandangan yang dipengaruhi oleh konstituen mereka dan mungkin mendukung atau menentang kebijakan ini berdasarkan dampaknya terhadap popularitas politik mereka.
Komunikasi yang efektif adalah hambatan lain yang signifikan. Pemerintah perlu memastikan bahwa informasi tentang program Tapera disampaikan secara jelas dan transparan kepada semua pihak yang berkepentingan. Sosialisasi yang tidak memadai dapat menyebabkan miskomunikasi dan resistensi dari pekerja dan pengusaha. Ketidakpastian tentang bagaimana dana Tapera akan dikelola dan digunakan menambah kekhawatiran ini. Pengalaman buruk dengan program tabungan perumahan sebelumnya, seperti yang dialami oleh Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Bapetarum PNS), juga menimbulkan skeptisisme tentang efektivitas dan transparansi Tapera.
Kapasitas administrasi dan pengawasan juga menjadi tantangan yang besar. Pemerintah harus memastikan bahwa mekanisme pengumpulan dan pengelolaan dana Tapera berjalan dengan baik dan bebas dari korupsi. Ini memerlukan sistem pengawasan yang ketat dan transparan, serta penegakan hukum yang efektif untuk mencegah penyalahgunaan dana. Kegagalan dalam hal ini dapat merusak kepercayaan publik dan menghambat keberhasilan program.
Selain itu, situasi ekonomi yang tidak stabil menambah kompleksitas pelaksanaan program ini. Banyak pekerja dan pengusaha yang sudah menghadapi tekanan finansial yang signifikan, terutama di masa pasca-pandemi. Pengenaan iuran wajib dapat memperburuk kondisi ekonomi mereka, menyebabkan resistensi yang lebih besar terhadap kebijakan ini. Pemerintah perlu mencari cara untuk mengurangi beban finansial ini, misalnya dengan memberikan insentif atau subsidi untuk pekerja dan pengusaha.
Masalah hukum dan regulasi juga menjadi hambatan yang perlu diatasi. Implementasi program Tapera memerlukan kerangka hukum yang jelas dan komprehensif untuk memastikan bahwa semua pihak mematuhi peraturan yang ditetapkan. Namun, proses legislasi seringkali lambat dan dipengaruhi oleh berbagai kepentingan politik. Koordinasi antara berbagai lembaga pemerintah juga diperlukan untuk menghindari tumpang tindih dan konflik regulasi.
Terakhir, aspek sosial dan budaya juga tidak bisa diabaikan. Kebijakan perumahan yang efektif harus mempertimbangkan kebutuhan dan preferensi masyarakat. Program Tapera harus dirancang sedemikian rupa sehingga sesuai dengan realitas sosial dan budaya Indonesia. Ini termasuk mempertimbangkan pola hunian, preferensi perumahan, dan dinamika keluarga di Indonesia.
Secara keseluruhan, untuk mengatasi tantangan dan hambatan ini, pemerintah perlu mengadopsi pendekatan yang inklusif dan partisipatif dalam merumuskan dan melaksanakan program Tapera. Mendengarkan suara-suara kritis dari berbagai pihak dan bekerja sama untuk mencari solusi yang lebih komprehensif adalah kunci untuk mengatasi masalah perumahan yang masih menjadi tantangan besar di Indonesia. Dengan pendekatan yang tepat, program Tapera dapat diimplementasikan secara efektif dan memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat.
*) Dosen UNTAG Banyuwangi