Fitrah, adalah sejatinya kondisi di mana kesejatian manusia didapat dan bagaimana mewujudkannya sejatinya adalah cara yang ingin ditempuh manusia dalam berkehidupan.
Terdapat mujaddid (pembaharu), hujjah atau hujjatul Islam (penguat agama Islam), apa bisa lahir dengan tanpa penyangsian terhadap ajaran Islam sebagai agama dari ilahi? Semisal tanpa ada ideologi yang sejatinya lahir dari suatu paradigma yang membingkainya? Mampu ataukah tidak, gerak Islam sebagai ummat tanpa polarisasi, seperti organisasi?
Hal yang patut disyukuri adalah bahwa Islam senantiasa terjaga. Manusia akan senantiasa mendapati Islam setidaknya hingga kelak diangkat dari para ulama’ dan bahkan al-Qur’an yaitu di Hari Kiamat.
Oleh karena perbincangan tentang Salaf as-Sholih sejatinya dalam ranah yang lebih intens serta berdasar pada jiwa dan literatur “suci”, pada kesempatan kali ini penulis mengemukakan pandangan tentang kondisi yang menjadikan alasan mengapa manusia khususnya Muslim tidak terdorong untuk terjun kepada kondisi Islam dalam pengertian polarisasi berdasar beberapa kecenderungan.
Pertama, kecenderungan ashobiyah dari para organisatoris Islam. Hal ini dilarang dan tentunya dapat menjadi tercela. Potensi perbedaan “furuu’iyyah” sejatinya diolah sedemikian rupa serta diterima secara lapang dada tanpa melahirkan perpecahan.
Eksistensi dalam pola “ashobiyy” terbukti menjadi cara berada dari suatu perbedaan, bahkan sejarah menunjukkan sikap tersebut membawa kaumnya berujung pada perpecahan.
Perbedaan pada ranah cabang, katakanlah fiqih (“al-fiqh al-ashghar”)atau pemahaman tertentu terkait hal tertentu dalam beribadah tidak dimaksudkan untuk dipertebal dengan lahirnya kelompok organisasi yang bersikap berlebihan, sebab hal ini berpotensi pada terbentuknya perbedaan yang dapat mengakibatkan kesakitan.
Kedua, Hizbiyyah dalam jama’ah yang berkecenderungan pada fanatisme kelompok /firqoh yang destruktif. Fanatisme sejatinya adalah bersifat konstruktif.
Dalam suatu kajian Tesis Magister Universitas Gadjah Mada, diakui fanatisme sejatinya identik dengan sikap beragama namun harus diolah dengan positif ke arah fatanik yang konstruktif (lihat Fanatisme Konstruktif dalam Perspektif Filsafat karya Nazwar).
Dikatakan, tidak ada beragama tanpa ada kefanatikan yang konstruktif. Konstruktivitas justru menjadi penggerak dalam beragama. Fanatisme konstruktif bukan deskltruktif belaka.
Meski fanatik, relasi antar manusia terwujud dalam keharmonisan, bahkan terhadap semesta alam. Hal ini perlu untuk ditekankan sebab agama sering kali dijadikan sasaran dengan stigma pemantik persoalan kekerasan khususnya relasi antar manusia.
Secara interaksi sosial sejatinya telah terbukti sepanjang sejarah, khususnya dalam Islam yang ditampilkan oleh junjungan sang suri teladan, Nabi Muhammad. Hal ini tampak jelas dan terbukti secara fisik berupa piagam madinah yang tidak terbantahkan lagi.
Adapun fanatisme dalam Islam bisa diwujudkan dalam berbagai amal kebaikan yang tentunya konstruktif. Amalan yang sejatinya dijiwai oleh Islam seperti berlomba-lomba dalam kebaikan (Q. S. Al-Baqarah), saling mengenal (“lita’arofu”) dan lain sebagainya.
Ketiga, proyek lanjutan modernitas berupa paradigma dan dominasi “politic-oriented.” Ideologi sebagai cara pikir nampaknya telah menyusup hingga ke dasar pemikiran manusia, tidak hanya pada zaman modern, tetapi modern yang menjelma sifat sekaligus nama berupa paradigma. Sayangnya hal ini menjadi ruh bagi pergerakan sebagian kalangan.
Orang, tidak hanya masyarakat yang diistilahkan awam, namun juga dan terutama para tokoh yang diistilahkan intelektual, mungkin tidak ingat pada kondisi di mana dia berada terlepas dari pengaruh atau cara pikir (paradigma) yang merupakan produk Barat.
Mari fokus kepada tokoh intelektualnya, siapa di zaman ini, mulai dari intelektual yang mengaku diri memiliki cara pikir paling tradisional-revivalis, hingga yang paling mutakhir, yang bisa lepas dari produk yang merupakan warisan pemikiran barat?
* Penulis Lepas Yogyakarta