TEKNOLOGI internet yang semakin canggih pada masa kini, tentunya akan membawa banyak informasi dan pengetahuan. Dengan adanya internet, seluruh masyarakat dari berbagai kalangan umur dapat mengakses informasi kapanpun dan dimanapun mereka berada.
Adanya perkembangan dan kekayaan informasi yang masyarakat miliki pada masa kini, membuat kalangan masyarakat sekarang memiliki pikiran yang jauh lebih kritis dan lebih peduli akan berbagai isu, contohnya yaitu mental issue.
Sebelum adanya perkembangan new media atau web 2.0, mental issue sangatlah tabu di kalangan masyarakat. Hal itu dikarenakan dulu masyarakat menganggap orang yang memiliki mental issue adalah ‘orang gila’ dan menjadi sesuatu yang wajib dihindari. Akan tetapi, pemikiran itu mulai bergeser seiring dengan berkembangnya new media atau yang sekarang kita lebih kenal dengan sebutan sosial media.
Kehadiran sosial media kini telah menjadi sarana masyarakat untuk menyuarakan berbagai isu yang sebelumnya adalah hal yang tabu atau jarang dibicarakan. Sosial media yang awalnya hanya digunakan sebagai sarana hiburan, kini perlahan juga menjadi wadah opini banyak masyarakat.
Opini isu yang sering digaung-gaungkan di media sosial dewasa ini yaitu mental health atau kesehatan mental. Banyak akun-akun media sosial yang memberikan tentang statement pentingnya menjaga dan aware terhadap kesehatan mental atau mental health. Selain itu, akun-akun tersebut juga memberikan edukasi untuk lebih peka terhadap gejala-gejala yang mengarah ke gangguan kesehatan mental.
Dapat kita lihat, dengan kehadiran akun-akun tersebut sebenarnya sangat membawa dampak positif untuk para pengguna sosial media khususnya para remaja untuk peduli terhadap kesehatan mental mereka. Namun di satu sisi, banyaknya informasi yang diberikan tanpa adanya filterisasi dari para remaja pengguna media sosial itu sendiri, akan menimbulkan dampak seperti self-diagnose.
Berdasarkan sebuah penelitian, self-diagnose dapat diartikan sebagai sebuah upaya diagnosis gangguan kesehatan fisik dan juga mental yang dilakukan oleh individu itu sendiri tanpa adanya diagnosis lebih lanjut dari ahlinya. Self-diagnose pada mental health berarti diagnosis mandiri mengenai adanya gangguan kesehatan mental melalui gejala-gejala awal yang dirasakan.
Pada kasus ini, ditemukan lebih banyak remaja yang melakukan self-diagnoses kesehatan mental setelah melihat postingan akun-akun di sosial media. Sebenarnya self -diagnose di tahap awal bukanlah hal yang salah asal dibarengi dengan pemeriksaan lebih lanjut seperti konsultasi dengan psikolog atau psikiater yang tentu memiliki kompetensi dan pemahaman lebih mengenai hal itu. Akan tetapi, apabila self-diagnoses dilakukan dalam waktu yang panjang tanpa memeriksakan gejala tersebut lebih lanjut, hal itu akan berdampak terhadap stimulus yang mereka bangun sendiri dan dikhawatirkan yang awalnya hanya berupa diagnosis semata akan menjadi kenyataan.
Self-diagnose yang paling sering remaja lakukan di sosial media yaitu ketika melihat adanya postingan mengenai ciri-ciri atau gejala bipolar, mereka akan secara langsung mengatakan “Ini seperti gejala yang saya rasakan, sepertinya saya memang mengidap bipolar”.
Padahal diagnosis bipolar sebenarnya tidak semudah itu, perlu pengecekan berulang terhadap gejala tersebut dengan psikiater hingga akhirnya diagnosis tersebut memang benar ditegakkan oleh sang profesional. Selain itu, banyaknya tes-tes kesehatan mental di sosial media turut menjadi salah satu penyebab banyaknya remaja melakukan self-diagnose. Adanya tes tersebut tanpa filterisasi oleh remaja, maka ini dikhawatirkan akan menjerumuskan mereka dan berdampak terhadap kesalahan diagnosis kesehatan mental.
Dari penuturan di atas, dapat dikatakan bahwa pengecekan terhadap kesehatan mental memanglah sangat penting. Namun, tidak lupa juga untuk memeriksakan gejala tersebut lebih lanjut agar bisa mendapatkan pertolongan lebih awal guna menghindari keterlambatan penanganan kesehatan mental. Selain itu, perlu juga untuk memberikan informasi terhadap para remaja agar tidak serta merta menerima sebuah informasi mengenai kesehatan mental di sosial. Dan juga diperlukan sosialisasi untuk segera mendatangi profesional apabila mereka memang merasakan gejala-gejala gangguan mental.
Memang tidak mudah untuk bisa menyadarkan para remaja untuk tidak melakukan self-diagnose. Namun percayalah seiring bertambahnya edukasi mengenai hal itu, frekuensi remaja melakukan self-diagnose akan berkurang dan perlahan akan menciptakan generasi masa depan yang peduli tentang kesehatan mental baik pada dirinya sendiri maupun lingkungan sekitar. ***
*) Mahasiswi Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Jurusan Ilmu Komunikasi (FISIP)