JAKARTA, borneodaily.co.id — Kualitas demokrasi di Indonesia mengalami penurunan secara bertahap. Kondisi ini bisa mengakibatkan hilangnya kualitas demokrasi sehingga bisa mengarah pada rezim otoriter.
Pandangan itu dikemukakan oleh Ketua Dewan Pers, Prof Azyumardi Azra, Kamis (8/9/2022) di Jakarta. Prof Azra memberikan kuliah umum pada proses wisuda di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STIH) Jentera.
“Saat ini banyak kalangan berpendapat, penegakan hukum tidak mencerminkan keadilan. Ini mengakibatkan demokrasi mengalami kemunduran,” tuturnya.
Hal lain yang menyebabkan mundurnya demokrasi, kata dia, adalah makin lemahnya institusi politik yang menjadi penopang sistem demokrasi. Ia menggambarkan penurunan kualitas demokrasi itu bisa dilihat dari hajatan pemilu yang tidak kompetitif, pembatasan partisipasi, lemahnya akuntabilitas pejabat publik, penegakan hukum yang tidak adil, dan sebagainya.
Dalam hal penegakan hukum yang tidak adil, kata Prof Azra, itu terkait dengan permasalahan di sektor peradilan, baik yang melibatkan penyidik (jaksa dan polisi) maupun pemutus perkara (hakim). Ia juga mengutarakan tentang diskon hukuman besar-besaran yang diberikan kepada 10 narapidana koruptor pada Selasa (6/9/2022) yang lalu.
“Pemberian diskon hukuman kepada narapidana korupsi menandakan penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM) dari jaksa dan peradilan tengah bermasalah. Saat ini undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK sudah lemah. Apalagi ditambah peradilannya juga lemah,” ungkapnya.
Ia juga mempermasalahkan pembatasan dalam mengemukakan pendapat yang sampai sekarang masih terus terjadi.
“Sekarang kita tidak lagi bebas. Ketika kita bergerak sedikit, HP kita dibajak. Akan tetapi, kita tidak tahu persis siapa yang membajak. Setiap kali ada pergerakan dari kelompok masyarakat, selalu ada perundungan,” paparnya.
Penyebaran informasi melalui siniar (podcast) juga tidak lepas dari perundungan. Ia berpandangan, bahwa hal itu merupakan pelanggaran berat dan tidak seharusnya terjadi. Masih ditemukan pula kelompok minoritas yang ditindas. Belum lagi ditemukannya beberapa pejabat publik yang memberikan isyarat atau informasi yang tidak benar kepada warga.
Prof Azra menilai penegakkan hukum di negara ini masih memerlukan pembenahan serius. Dia menengarai, dari seluruh gerakan reformasi yang sudah berjalan lebih dari 20 tahun ini, sektor yang belum membuahkan hasil membanggakan adalah sudut penegakan hukumnya.
Penegakan hukum, kata dia, seharusnya ditujukan untuk meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum di masyarakat.
“Ini merupakan tugas yang berat. Kita memerlukan sebuah diskusi untuk menjalankan reformasi jilid dua, terutama dalam penegakan hukum. Inilah tantangan dan tugas kita semua supaya terwujud pembaruan hukum yang berkembang di negeri kita,” kata dia. (*red)